TEORI BERAT NEWTON, TEORI DASAR ILMU FISIKA - Mustofa Abi Hamid's Blog

Update

Friday, June 18, 2010

TEORI BERAT NEWTON, TEORI DASAR ILMU FISIKA

Tiga abad yang lalu tercatat suatu peristiwa penting dalam sejarah usaha manusia memahami kelakuan alam sekitarnya, khususnya dalam pengembangan ilmu fisika. Betapa tidak, di tahun 1687 terbit edisi pertama buku Principia karya Sir Isaac Newton (1642-1727), ilmuwan fisika-matematika kenamaan berkebangsaan Inggris. Dalam buku itu hukum gaya berat atau gravitasi diumumkan pengarangnya. Ia adalah hukum alam yang berperan sebagai kunci penyingkap tabir rahasia gejala berat, yang penuh teka-teki namun menarik dan menantang. Untuk mengenang tiga ratus tahun diumumkannya hukum ini, tulisan berikut mencoba memberi suatu tinjauan ulang ringkas mengenai latar belakang penemuannya, penerapannya (dalam astronomi) dan pula menunjuk akan keterbatasannya sebagai suatu teori fisika yang mendasar dan tuntas.

Sir Isaac Newton

Andaikanlah, dalam tangan Anda tergenggam sebuah batu. Bila batu tersebut dilepaskan, Anda saksikan batu segera jatuh ke permukaan bumi. Sepintas lalu kejadian ini tidaklah aneh karena telah sering kita saksikan. Tetapi pernahkah timbul dalam pikiran Anda, mengapa batu tersebut selalu jatuh ke bawah menuju ke permukaan bumi dan tidak dalam arah sebaliknya atau tetap diam di tempatnya?
Pertanyaan di atas dan yang sejenisnya ternyata bukan pertanyaan sederhana karena telah melibatkan cukup banyak ilmuwan kenamaan abad 16 dan 17 dalam usaha untuk mendapatkan jawabannya. Bahkan tercatat bahwa Aristoteles, filsuf Yunani Kuno kenamaan di abad 4 sebelum Masehi terlibat pula dalam usaha pemahaman teka-teki alam ini. Dengan menerapkan cara pendekatan pemikiran rasional, yang dianut dewasa itu dalam usaha memahami kelakuan alam, Aristoteles tiba pada kesimpulan berikut. Bila dua benda yang beratnya tak sama, dilepaskan pada saat dan dari ketinggian yang sama, maka benda yang lebih berat akan terlebih dahulu menyentuh tanah.

Pendapat Aristoteles ini ternyata keliru. Namun karena kearistokratannya, pendapatnya ini dapat bertahan kurang lebih 20 abad untuk kemudian dikoreksi oleh Bapak Fisika Modern, Galileo Galilei (1564-1642), ilmuwan fisika berkebangsaan Italia. Meskipun Galileo berhasil mengoreksi pendapat Aristoteles ini, namun ia sendiri belum dapat memberikan jawaban kunci yang memuaskan terhadap pertanyaan kita di atas.

Newton menjawabnya
Ternyata baru menjelang berakhirnya abad ke-17 Sir Isaac Newton (1642-1727), seorang ilmuwan Inggris, berhasil menyingkap tabir teka-teki alam yang menarik perhatian itu. Mengenai penemuannya, ada sebuah lelucon menarik yang menceritakan, jawaban itu diperoleh ketika sebuah apel jatuh ke kepalanya sewaktu ia sedang merenungi masalah ini di bawah sebatang pohon apel di pekarangannya (apakah buah apel ini mengenai kepalanya, diragukan kebenarannya). Diceritakan, kejadian ini mengilhaminya untuk menemukan hukum yang kemudian terkenal dengan nama “Hukum Gaya Berat (Gravitasi) Newton (1687)”.

Hukum ini menyatakan, dua benda yang terpisah oleh jarak tertentu cenderung tarik-menarik dengan gaya (atau kekuatan) alamiah yang sebanding dengan massa (atau ukuran kepadatan atau berat) masing-masing benda dan juga berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara keduanya.

Kembali ke pertanyaan kita di atas, terdapat dua benda yang saling mempengaruhi, yaitu Bumi dan batu kecil yang semula berada dalam tangan. Gaya atau kekuatan tarikan Bumi pada batu itu sebagaimana dinyatakan oleh hukum di atas disebut gaya berat atau gaya gravitasi atau yang lebih sering dikenal dengan sebutan berat batu. Sebaliknya pun berlaku. Bumi ditarik oleh batu kecil itu dengan gaya atau kekuatan yang sama besar. Di sini jarak antara batu dan Bumi dihitung dari batu ke pusat Bumi yang berada sekitar 3.670 kilometer di bawah permukaan Bumi.

Nampaknya dengan bantuan Hukum Gaya Berat Newton ini, kita mulai sedikit memahami asal-usul penyebab jatuhnya batu kecil tersebut ke permukaan Bumi. Tetapi rasanya masih ada yang mengganjal apabila kita hendak menerapkan hukum ini secara langsung. Mengapa justru batu yang tertarik jatuh menuju ke permukaan Bumi dan bukan sebaliknya Bumi yang tertarik ke atas menuju batu kecil yang Anda lepaskan? Mengapa ini dijawab melalui Hukum Newton berikut dalam cabang ilmu fisika yang mengkhususkan pada permasalahan gerak dan penyebabnya, yaitu cabang mekanika.

Hukum Newton Kedua atau Hukum Gerak
Hukum ini dasarnya menyatakan hubungan antara gaya dan gerak yang menempatkan keduanya sebagai suatu hubungan sebab-akibat. Di sini gaya dikaitkan dengan kekuatan mendorong atau menarik yang berperan sebagai penyebab “perubahan gerak” sebuah benda. Atau lebih terinci lagi, gaya adalah penyebab perubahan besar kecepatan (laju) dan arah gerak (arah kecepatan) benda. Dan Hukum Newton kedua ini menyatakan, besarnya perubahan gerak benda yang secara pengukuran disebut percepatan berbanding terbalik dengan massa benda itu dan berbanding lurus dengan gaya penyebabnya.

Besaran massa di atas, yang samar-samar pengertiannya, dapat disetarakan dengan berat benda (ingat Hukum Gaya Berat Newton) dan secara fisika merupakan ukuran keengganan benda untuk mengubah keadaan gerak semula. Jadi secara fisika hukum ini menyatakan, benda yang massanya lebih besar (atau lebih berat) enggan sekali mengubah keadaan geraknya semula sedangkan yang jauh lebih kecil massanya (jadi lebih ringan) memperlihatkan perilaku yang lebih luwes. Dengan demikian, benda yang massanya besar sekali, bila semula berada dalam keadaan diam, cenderung untuk tetap berada dalam keadaan diam.

Nah, pada masalah kita di atas, massa bumi jauh lebih besar daripada massa batu kecil itu. Dengan demikian terungkaplah sekarang secara jelas bagi kita apa penyebabnya tertariknya batu kecil itu (melalui Hukum Gaya Berat Newton) dan mengapa jatuhnya haruslah ke permukaan Bumi (melalui Hukum Gerak Newton).

Sistem Ptolemaeus dan Kopernik
Sebelum abad 15 para ilmuwan astronomi menganut pandangan yang menyatakan bahwa Bumi adalah pusat jagat raya dan semua benda langit bergerak mengelilinginya. Sistem jagat raya dalam pandangan ini disebut sistem Ptolemaeus untuk menghormati ilmuwan astronomi Mesir kuno kenamaan yang pertama kali secara tertulis mengumumkan pandangan di atas dalam abad ke-2 sebelum Masehi. Pandangan Ptolemaeus ini memang sesuai dengan apa yang kita amati, dan memang tidak ada yang salah dalam pandangan ini. Akan tetapi bila sistem Ptolemaeus digambarkan di atas kertas, maka gerak benda langit menjadi sulit dan rumit untuk ditelusuri.

Barulah menjelang pertengahan abad 16 seorang ilmuwan astronomi berkebangsaan Polandia, Nicolaus Kopernik (1473-1543) mengemukakan, gerak benda langit akan menjadi lebih sederhana apabila Matahari yang dipandang sebagai pusat jagat raya. Secara tegas ia mengatakan, bukan Matahari yang bergerak mengelilingi Bumi seperti dalam pandangan Ptolemaeus yang dianut selama itu, tetapi justru sebaliknya, Bumilah bersama benda langit lainnya yang bergerak mengelilingi Matahari.

Karena dalam sistem Kopernik gerak benda langit tampak menjadi lebih sederhana dan pula memudahkan pengelompokan keluarga benda langit secara bersistem, maka sejak diumumkannya pandangan ini para ilmuwan astronomi segera beralih ke pandangan Kopernik. Dalam pandangan Kopernik ini para ilmuwan kemudian mengemukakan apa yang dikenal dengan Sistem Tata Surya, yaitu kelompok atau keluarga benda langit yang bergerak mengelilingi Matahari.

Orbit planet
Khusus mengenai peredaran Bumi kita beserta sejumlah planet lain mengelilingi Sang Surya. Tycho Brahe (1546-1601), seorang ilmuwan astronomi kenamaan berkebangsaan Denmark, secara tekun berhasil mengumpulkan data pengamatan yang cukup lengkap mengenai perubahan kedudukan planet pada saat-saat tertentu terhadap Matahari. Data ini kemudian dipelajari oleh salah seorang muridnya yang terkenal, Johanes Kepler (1571-1630). Berkat ketekunannya selama dua puluh tahun, akhirnya Kepler memperoleh kesimpulan menarik berikut: orbit atau garis edar planet ternyata bentuknya tidaklah sembarang tetapi berupa suatu jorong atau elips dengan Sang Surya berada pada salah satu titik apinya. Kesimpulannya ini dikenal sebagai Hukum Orbit.
Orbit planet yang berbentuk elips dapat kita gambarkan seperti pada gambar 1 yang memperlihatkan Matahari berada pada salah satu titik apinya, M. Disamping itu Kepler menemukan pula hukum periode.

Kepler juga menemukan hukum lain yang mengukur perubahan besar kecepatan planet selama geraknya mengelilingi Matahari, yang dikenal sebagai hukumnya yang ketiga. Ketiga Hukum Kepler di atas mengungkapkan suatu kenyataan alam yang sungguh menarik yang sama sekali tidak diduga sebelumnya. Tetapi mengapa gerak planet mengitari Sang Surya ini harus tunduk kepada Ketiga Hukum Kepler?

Kembali Newton menjawab
Ketiga Hukum Kepler di atas diumumkan antara tahun 1609 dan 1619, jadi jauh sebelum Isaac Newton dilahirkan secara prematur pada tanggal 25 Desember 1642. Pertanyaan di atas ternyata baru terjawab oleh Teori Gaya Berat Newton yang mengungkapkan adanya gaya tarik Matahari pada planet yang massanya jauh lebih kecil dibandingkan dengan massa Matahari, dan oleh hukum geraknya yang menerangkan bagaimana perubahan gerak planet akibat pengaruh gaya berat ini.

Jadi gaya berat inilah yang berperan mengubah keadaan gerak planet dari keadaan geraknya yang semula cenderung diam atau bergerak dengan kecepatan tetap sepanjang garis lurus. Hukum gerak selanjutnya menerangkan, planet pada saat semula tidak boleh dalam keadaan diam karena bila demikian, planet yang bersangkutan akan tertarik dan jatuh ke permukaan Matahari. Jadi ia tentulah bergerak dengan kecepatan awal tertentu terhadap Matahari dan tentulah menyimpang dari arah yang menuju kedudukan Matahari. Maka dalam keadaan gerak yang demikian, lintasan atau garis edarnya dapat berupa salah satu dari keempat irisan kerucut berikut yakni lingkaran, elips, hiperbola atau parabola.

Bahwa planet ternyata bergerak dalam orbit elips dan tidak dalam bentuk irisan kerucut lainnya, hal itu bergantung pada besar kecepatan gerak awalnya. Kedua Hukum Kepler lainnya juga terjawab di sini. Sungguh mengagumkan! Kesimpulannya, Ketiga Hukum Kepler yang sangat terkenal itu merupakan konsekuensi logis dari Hukum Gaya Berat dan Hukum Gerak Newton.

Buah apel lawan elips planet
Tentu menarik pula bagi kita untuk mepertanyakan kembali tentang bagaimana Newton menemukan hukum gaya beratnya. Setelah membaca lelucon mengenai buah apel, sebagian pembaca mungkin memperoleh kesan Newton menemukan perumusan hukum gaya beratnya melalui suatu ilham yang datang secara tiba-tiba. Ternyata tidak demikian! Teori Newton lahir melalui suatu proses yang cukup panjang yang dibuka oleh pemikiran Kopernik, dirintis oleh tumpukan data Tycho Brahe, dan yang kemudian digarap oleh Kepler. Penemuan Newton sendiri diperoleh melalui suatu usaha dengan ketekunan yang memakan waktu untuk dapat memahami Ketiga Hukum Kepler. Berdasarkan data mengenai gerak planet yang telah diketahui, yang merupakan akibat dari gaya X yang berperan sebagai penyebabnya. Dari sini ia menemukan bahwa bila orbit yang beredar mengelilingi Matahari berbentuk elips dengan Matahari berada pada salah satu titik apinya seperti dikatakan oleh Hukum Orbit Kepler, maka gaya penyebabnya X haruslah berupa sebuah gaya tarik yang mengarah ke pusat Matahari dan besarnya berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara planet tersebut dengan Matahari. Dengan mempergunakan gaya X yang telah diketahuinya di dalam hukum geraknya kembali ia menyimpulkan kedua Hukum Kepler yang lain memang berlaku, yang sekaligus mengecek kebenaran pemilihan bentuk gaya X di atas. Gaya X inilah yang disebut gaya berat atau gravitasi.

Setelah menemukan kunci rahasianya, Newton mengumumkan hukum gravitasinya yang terkenal, yang olehnya dipandang berlaku semesta, artinya baik untuk menerangkan jatuhnya sebuah batu ke permukaan Bumi maupun keteraturan peredaran Bulan mengelilingi Bumi dan planet beserta komet mengelilingi Matahari. Bahkan menyangkut pula gerakan galaksi atau gugus bintang dalam jagat raya.

Planet Merkurius dan Newton
Walaupun telah dijelaskan di atas, Hukum Gravitasi Newton ini ternyata tidaklah terlalu memuaskan seperti yang diduga semula. Ini terlihat apabila kita mulai mencoba memperbandingkan hasil pengamatan yang lebih teliti dengan yang diramalkan oleh Hukum Newton. Salah satu diantaranya adalah persoalan yang berhubungan dengan garis edar planet Merkurius, yaitu planet yang terdekat dengan Matahari. Menurut Hukum Newton, apabila pengaruh gaya berat dari planet lain dalam tata surya ini terhadap planet Merkurius diabaikan dan hanya ditinjau pengaruh gaya berat oleh Matahri saja, maka garis edarnya akan berupa sebuah elips sempurna dengan Matahari berada pada salah satu titik apinya seperti diuraikan di atas. Tetapi apabila pengaruh gaya berat planet lainnya juga diperhitungkan, maka garis edar planet Merkurius tidak lagi berupa sebuah elips sempurna tetapi elips yang bergerak atau yang lazim disebut elips yang berpresisi (bergeser).

Ini berarti bahwa setelah melakukan satu putaran penuh mengelilingi Matahari, planet Merkurius tidak kembali ke kedudukan semula tetapi bergerak menjauhinya (lihat Gambar 2). Dan ramalan Hukum Gaya Berat Newton ini memang benar berlaku pada bentuk garis edar planet Merkurius.
Tetapi yang mengherankan para ilmuwan astronomi adalah, hasil pengamatan mereka memperlihatkan adanya ketidakcocokan antara besarnya pergeseran dengan yang diramalkan oleh teori Newton. Hasil pengamatan mereka meperlihatkan bahwa sudut geser planet Merkurius setiap seratus tahun atau satu abad adalah 5.600.73 detik busur.

Di sini satu detik busur sama dengan satu derajat sudut bagi 3.600. Jadi nilai di atas sekitar 1,5 derajat. Sedangkan teori Newton memberikan ramalan sudut geser yang lebih kecil daripada yang diamati di atas, yaitu sebesar 5.557.62 detik busur. Dengan demikian terdapat perbedaan sebesar 43.11 detik busur.
Ada ketidakcocokan angka yang sungguh sangat kecil antara yang diramalkan Newton dan dari hasil pengamatan. Tetapi ini menjadi pertanda bahwa Teori Gaya Berat Newton belum merupakan suatu teori fisika yang mendasar dan tuntas dalam menjawab teka-teki gejala berat
.
Perbedaan ini tetap tak terjelaskan sejak tahun 1850, saat ketidakcocokan Teori Gaya Berat Newton ini mulai disadari hingga diajukannya teori berikut.
Teori Kerelatifan Umum Einstein

Sekitar tahun 1916, kurang lebih dua abad setelah Newton mengemukakan hukum beratnya, teori Newton disempurnakan menjadi bentuk yang lebih umum dan mendasar. Hal ini dilakukan oleh ilmuwan Albert Einstein (1879-1955), melalui teorinya yang sangat terkenal, Teori Kerelatifan Umum.
Menurut Einstein, ruang di sekitar benda merupakan suatu medan gaya berat seperti halnya medan magnet di sekitar sebuah batang magnet dan bahwa timbulnya medan gaya berat ini karena ruang-waktu bermatra (berdimensi) empat di sekitar benda tersebut melengkung.

Teori ini kelihatannya menggantikan mekanika Newton dan Teori Gaya Berat Newton. Tetapi Einstein memperlihatkan, jika kecepatan benda yang bergerak lebih kecil daripada kecepatan rambat cahaya dan kekuatan medan gaya beratnya lemah, maka persamaan gerak yang bersangkutan dan juga persamaan medan gaya beratnya sama dengan kepunyaan Newton.

Einstein selanjutnya menunjukkan pula bahwa gerak presesi garis edar planet Merkurius berlangsung tepat seperti yang diramalkan Teori Kerelatifan Umum. Data-data astronomi lainnya juga memberikan bukti eksperimental yang mendukung teori ini. Keunggulan lebih dari Teori Kerelatifan Umum Einstein ini, berhasil meluluskan dan mengukuhkannya sebagai suatu teori tentang gejala berat yang lebih umum dan mendasar.

---------------------------------------------------------------------
MUSTOFA ABI HAMID
BPH Masjid Al-Wasi’i Unila
Jl.Sumantri Brojonegoro no.13 Gedung Meneng PostCode:35145
Bandar Lampung - Indonesia
Phone: (0721) 783044.
HP. : 0857.6837.3366
e-mail: abi.sma4@gmail.com
abi.unila@yahoo.co.id
website: www.mustofaabihamid.blogspot.com

2 comments:

  1. Menarik, thanks, smoga bermanfaat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amiin. Semoga senantiasa bermanfaat. Terima kasih Cenji. :)

      Delete

Post Top Ad