Zakat fitrah adalah ibadah menurut ijma kaum muslimin, dan semua ibadah pada dasarnya tauqifi (mengikuti dalil atau petunjuk). Maka tidak boleh lagi seorang hamba untuk beribadah kepada Alloh Subhaanahu wa Ta’ala dengan satu ibadahpun kecuali dengan cara yang diambil dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Sehingga dalam mengeluarkan zakat, kita pun harus merujuk kepada tuntunan syariat dari Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, bukan melalui hasil karya manusia saat ini.
Yang diperintahkan dalam zakat fitrah adalah menunaikannya dengan cara yang telah diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, yaitu dengan mengeluarkan satu sha’ makanan pokok penduduk negeri tersebut dan diberikan kepada orang-orang faqir pada waktunya. Adapun mengeluarkan uang senilai zakat fitrah, maka hal itu tidak sah karena menyelisihi perintah Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan menyelisihi apa yang pernah dilakukan oleh para sahabat, mereka tidak pernah mengeluarkan uang padahal mereka lebih tahu tentang sesuatu yang boleh dan sesuatu yang tidak boleh.
Mengenai hal ini, Imam Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘anhu, dia berkata, yang artinya: “Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fitrah dengan satu sha’ kurma, atau gandum atas setiap orang muslimin yang merdeka ataupun budak baik laki mupun perempuan kecil ataupun besar”
Dan Rasululloh Shallallahu ‘alihi wa Sallam memerintahkan supaya zakat itu dilaksanakan sebelum orang keluar untuk melakasanakan shalat Idul Fitri. Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Abu Said al-Khudri Radhiallahu ‘anhu, dia berkata, yang artinya: “Kami memberikan zakat fitrah itu pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan satu sha makanan, atau satu sha’ kurma atau gandum atau anggur kering” dalam satu riwayat “satu sha’ keju”
Inilah sunnah Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam zakat fitrah. Dan sudah diketahui bersama bahwa pensyari’atan dan pengeluaran zakat ini ditetapkan, di tengah kaum muslimin terutama penduduk Madinah sudah ada Dinar dan Dirham, dua mata uang yang utama kala itu. Namun Rasululloh Shallallahu ’alaihi wa Sallam tidak menyebutkan keduanya dalam zakat fitrah. Kalau seandainya salah satu dari keduanya boleh dipakai dalam zakat fitrah tentu hal itu sudah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, karena tidak boleh menunda-nunda keterangan pada saat dibutuhkan. Dan kalaulah hal itu pernah dikerjakan Rasululloh Shallallahu ’alaihi wa Sallam tentu telah dikerjakan oleh para sahabat Radhiallahu ‘anhum.
Belum pernah kita menemukan ada seorang sahabat Nabi-pun yang menyerahkan zakat fitrah dalam bentuk uang padahal mereka adalah orang-orang yang paling paham terhadap sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan mereka orang-orang yang paling gigih keinginannya dalam melaksanakan sunnah tersebut. Dan jika mereka pernah melakukannya, tentu hal itu sudah di nukil periwayatannya sebagaimana perkataan serta perbuatan mereka lainnya yang berkaitan dengan perkara-perkara syar’i juga telah dinukil periwayatannya. Alloh Subhaanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Sungguh terdapat contoh yang baik buat kalian pada diri Rasululloh” (QS: Al-Ahzab: 21)
Dan firman-Nya, yang artinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Alloh, dan Alloh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” (QS: At-Taubah: 100)
Mengeluarkannya dalam bentuk uang akan membuatnya menjadi samar dan terkadang manusia condong kepada hawa nafsunya jika ia mengeluarkannya dalam bentuk uang. Mengikuti syari’ah adalah kebaikan dan keberkahan. Kadang ada orang yang mengatakan memberikan makanan tidak bermanfaat bagi orang fakir. padahal kalau orang fakir itu fakir yang sebenarnya maka makanan itu akan bermanfaat baginya. Washallahu ‘ Ala Nabiyina Muhammadin wa’ala alihi wa shahbihi.
Mustofa Abi Hamid;
LAZIS Baitul Ummah Masjid Al-Wasi'i Universitas Lampung
No comments:
Post a Comment