Mahkota Seorang Guru (Curahan Hati Calon Pendidik Part 1) - Mustofa Abi Hamid's Blog

Update

Friday, October 14, 2011

Mahkota Seorang Guru (Curahan Hati Calon Pendidik Part 1)

Kejujuran merupakan sifat yang dinilai sudah mulai luntur dari diri bangsa ini. Bahkan dari ketidakjujuran segelintir orang berakibat fatal pada rasa ketidakpercayaan publik. Seperti halnya oknum-oknum pemerintah yang sudah menjadi rahasia umum bahwa kejujuran di kalangan pemerintahan dari semua lini dan bidang sudah jarang didapati rasa kejujuran dari diri pribadi. Bahkan hal ini pun telah menggerogoti insan yang dinilai mulia karena jasa besarnya mencetak generasi penerus bangsa yang bermoral dan profesional.


Kejujuran adalah mahkota seorang guru. Begitu kata seorang pakar endidikan Islam, Fuad bin Abdul Aziz Al-Syalhub, dalam bukunya Al-Mu’allim Al-Awwal Shallallahua’alaihi wa Sallam Qudwah Likulli Mu’allim wa Mu’allimah. Dia mengatakan hal itu dengan mengambil teladan pada diri sang guru ummat, Nabi Muhammad SAW yang menggunakan salah satu motode pengajarannya sangat menjunjung tinggi kejujuran, ternyata telah berhasil begitu banyak meninggalkan ilmu berguna membekas pada muridnya.
Kalau saja semua guru sekarang mau bersepakat contoh guru yang paling sempurna adalah Rasulullah SAW, tentu metode yang beliau gunakan sangat perlu untuk dipelajari, dihayati, dan diamalkan. Karena keampuhan motode tersebut sudah terbukti sangat luar biasa, ribuan sahabat yang sekaligus menjadi murid Nabi SAW mampu menyerap ilmu begitu banyak. Padahal kala itu sarananya sangat terbatas termasuk alat untuk tulis menulis pun sangat minim, namun hafalan mereka hinga sekarang telah melahirkan ribuan kitab yang dibukukan oleh para generasi yang datang kemudian.
Keberhasilan proses pendidikan yang diajarkan Rasulullah SAW 14 abad yang lalu itu, hendaknya sekarang perlu menjadi renungan bagi para guru dan pejabat yang mengelola pendidikan di negri ini. Karena hampir tiap tahun ajaran berakhir, banyak yang gelisah dengan target kelulusan murid yang terancam tidak akan tercapai. Sehingga menjelang Ujian Nasional (UN) setiap tahun berbagai upaya pun dilakukan. Guru-guru diharuskan mengajar ekstra, murid-murid dipompa, dan tidak sedikit anggaran harus ditambah untuk itu.
Kenapa hal ini sampai terjadi? Barangkali apa yang dikatakan Fuad bin Abdul Aziz itu ada benarnya. Banyak guru di negeri kita sekarang sudah mulai hilang mahkotanya. Mereka tidak lagi memiliki salah satu sifat mulianya yang bernama kejujuran. Banyak para pendidik dewasa ini telah mengabaikan urgenitas sebuah prinsip, ilmu, amal dan keikhlasan. Sehingga begitu banyak ilmu yang seharusnya berguna dan bermanfaat, namun tidak berbekas pada muridnya.
Bukti ketidak jujuran para guru itu, sepertinya sudah diakui semua pihak termasuk pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan beberapa kali sudah ujian nasional diadakan, hasil yang diperoleh anak didiknya kurang mendapat kepercyaan bahwa itu murni kemampuan mereka. Sehingga setiap kali UN berlangsung pengawasan pun tidak dipercayakan lagi sepenuhnya kepada guru.
Pembentukan tim indenpenden yang anggotanya diambil dari luar kalangan guru, seharusnya menjadi pukulan berat bagi mereka. Bahwa kejujuran sebagai mahkota seorang guru telah hilang tercerabut dari tangannya akibat kesalahan yang dilakukannya sendiri.
Tapi dalam kenyataannya, aneh sekali banyak guru hingga sekarang belum dapat menyadari hal tersebut. Sehingga ketika tim indenpenden dibentuk untuk mengawasi ujian nasional itu mereka menyambut saja tanpa terlihat protes sedikitpun. Barangkali memang ini suatu pengakuan dari kalangan guru itu sendiri mereka memang layak untuk tidak dipercaya.
Karena kenyataannya dalam mencapai hasil agar angka kelulusan siswa di suatu sekolah bisa tinggi, sebagian guru ada yang berbuat curang demi untuk mendapat prestise dan nama baik sekolah. Karena jika banyak siswa di suatu sekolah gagal dalam UN para guru di sana akan merasa malu, maka itu diambillah jalan pintas dengan membagi-bagi kunci jawaban kepada murid ketika guru itu ditugaskan mengawasi anak-anak yang ikut ujian.
Hasil yang diperoleh dari perbuatan curang tersebut dalam waktu singkat para guru memang mendapatkan satu kebanaggaan semu. Namun untuk selanjutnya dalam waktu yang panjang profesi guru yang seharusnya sangat mulia justru semakin menjadi sangat hina. Jangankan untuk mengharap dapat memperoleh kepercayaan dari pihak lain, malah dari siswanya sendiri guru akan dipandang sebagai orang yang suka berkata bohong.
Karena sewaktu mengajar di depan kelas banyak guru yang mendorong murid-muridnya untuk giat belajar dengan melakukan ancaman jika nanti tidak bisa menjawab soal mereka akan gagal dalam ujian. Namun dengan adanya perlakuan guru yang mau mengasih kunci jawaban, anak-anak pun tidak lagi percaya kepada gurunya. Toh kalaupun tidak bisa nanti pasti ada guru yang akan membantu.
Guna mengembalikan mahkota guru yang telah hilang itu, agaknya momentum UN setiap tahun bisa digunakan dengan baik. Guru tidak perlu lagi memberi kunci jawaban kepada siswa. Karena tugas guru untuk mengajar jangan diselewengkan pada prioritas lain hanya sekedar mencari nama. Biarlah anak-anak menjawab sendiri semua soal dengan kemampuannya sendiri. Jika toh nanti mereka gagal beri kesempatan mengulang setahun lagi, agar upaya belajar mau ditingkatkan.

Mustofa Abi Hamid
Physics Education ‘09
University of Lampung (Unila)

HP : 0856.6666.090
e-mail :abi.sma4@gmail.com
abi.unila@yahoo.co.id

1 comment:

  1. Masalah bagi-bagi jawaban ini sudah menjadi budaya, susah ini dihilangin

    ReplyDelete

Post Top Ad