Islam sejatinya menjadi pelopor
primordial toleransi dan kebebasan beragama jauh sebelum lahirnya Pancasila di
nusantara. Bisa dikatakan, Pancasila adalah “Piagam Madinah”-nya bangsa
Indonesia. Jika Nabi Muhammad melontarkan gagasan untuk hidup berdampingan
secara rukun dan menjamin kebebasan beragama melalui Piagam Madinah, kenapa
Pancasila yang menjadi manifestasi Piagam Madinah justru keberadaannya selalu
diusik? Inilah yang masih menyisakan pertanyaan besar bagi bangsa.
Tanpa Piagam Madinah, sebuah
kemustahilan untuk menciptakan kehidupan yang damai di tengah masyarakat
Madinah yang beragam suku, etnis, budaya, dan agama. Nabi Muhammad sebagai
pembawa Islam tidak menerapkan eksklusifitas Islam untuk dipaksakan dalam
realitas bangsa yang plural, tapi Nabi Muhammad justru mengajarkan untuk tidak saling
memusuhi kaum lain, saling menolong demi pembangunan, ekonomi, keselamatan dan
kedamaian bersama. Itu artinya dengan mata telanjang kita bisa melihat bahwa
Islam mengajarkan kita untuk bersikap toleran dan menghargai kebebasan
beragama.
Meminjam istilah Hugh Goddard dalam
bukunya, Christians and Muslims: From Double Standard to Mutual Understanding
(1995), tidak semestinya kita menerapkan “standar ganda” dalam realitas
kehidupan yang plural. Tapi bagaimana kita memposisikan diri di tengah
kehidupan bangsa yang serba majemuk, sehingga bisa memaknai pentingnya hidup
berdampingan secara rukun dengan menghargai keyakinan umat lain. Karena dengan
menerapkan “standar ganda” akan memunculkan prasangka sosiologis dan teologis
yang memperkeruh hubungan antarumat beragama. Prasangka teologis yang Hugh
maksud adalah menganggap keyakinan yang kita anut merupakan keyakinan samawi
(berasal dari Tuhan), sedangkan keyakinan lain merupakan konstruksi manusia
atau berasal dari Tuhan tapi telah mendapat campur tangan manusia. Kondisi
semacam inilah yang menurut Hugh dapat mencerai berai integritas antarumat
beragama dalam suatu negara yang memang didesain Tuhan serba plural.
Jika dikontekstualkan dalam kehidupan
bangsa Indonesia, kondisi sosial-kultural Madinah sejalan dengan Indonesia di
mana memiliki masyarakat yang plural. Tengok saja agama di Indonesia yang
dijamin negara seperti Islam, Kristen Protestan dan Katolik, Hindu, Budha,
Konghucu, belum lagi agama-agama lokal yang eksistensinya belum diakui negara.
Lebih dari itu, Indonesia sangat kaya akan budaya, suku bangsa, etnis, dan
sebagainya. Itu semua adalah bagian dari grand design Tuhan untuk saling
mengenali satu sama lain.
Jika Tuhan menginginkan, dengan “kun
fayakun!” maka Indonesia lahir sebagai bangsa homegen. Tapi faktanya Tuhan
justru menciptakan kehidupan bangsa secara heterogen. Ini yang harus kita
sadari dan sikapi bersama, bahwa Tuhan dan Nabi Muhammad telah “merestui”
realitas pluralitas kehidupan, sehingga diharapkan manusia dapat hidup secara
damai. Itu berarti menentang realitas kehidupan plural sama halnya menentang
otoritas Tuhan.
Al-Qur’an Surat Hujarat 13 menjelaskan bahwa manusia diciptakan
berbangsa-bangsa agar saling mengenali: “Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikanmu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenali.” Kata
“menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku” inilah yang penulis maksud
bahwa realitas kehidupan plural telah “direstui” Tuhan.
Demikian juga dalam QS. Kafirun 6: “Untukmu agamamu dan untukku agamaku”. Ayat
ini mengisyaratkan untuk tidak mencampuri keyakinan orang lain dan menghargai
agama orang lain. Harapannya, agar manusia tidak saling mempertahankan klaim
“kebenaran” masing-masing keyakinan yang berdampak pada konflik dan pertikaian.
Surat di atas mengisyaratkan untuk bersikap inklusif, terbuka, dan toleran
terhadap perbedaan keyakinan untuk mencipta kedamaian.
Pun Piagam Madinah muncul untuk
menjawab realitas keagamaan, kesukuan, politik, ekonomi dalam masyarakat
Madinah yang sangat heterogen. Dengan demikian diharapkan tidak ada
superioritas kesukuan-keagamaan dalam memiliki hak untuk berpartisipasi di
gelanggang sosial dan politik. Hasilnya, konfedrasi kesukuan-keagamaan akan
termanifestasikan dalam kehidupan yang madani sehingga tercipta kerukunan dan
toleransi di segala lapisan masyarakat. Piagam Madinah menjadikan Madinah yang
berbangsa-bangsa menjadi satu kesatuan front yang kuat untuk menghalau kekuatan
di luar Madinah.
Selanjutnya, permasalahan pelik yang
dihadapi bangsa sekarang adalah status Pancasila yang dianggap tidak sah oleh
“kelompok eksklusif” sehingga bisa dikatakan nasib Pancasila sebagai “Piagam
Madinah Modern” di ujung tanduk. Terutama Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam butir
ke-3 yang berbunyi: “Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai
dengan agama dan kepercayaannya,” dan butir ke-4 yang berbunyi: “Tidak
memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.” Butir ini dibuat
bukan tanpa alasan, tetapi mendasarkan pada filosofi realitas sosial-kultural
dan historisitas bangsa Indonesia yang plural. Jika realitas plural itu
dipaksakan dalam satu frame keyakinan, maka mendirikan bumi nusantara ini
adalah sebuah kemustahilan dan pertumpahan darah secara makro adalah suatu
keniscayaan.
Dengan demikian, Islam sebagai landasan
yang bersifat transendental dan Pancasila sebagai landasan yang sifatnya profan
sama-sama menjamin kebebasan beragama. Lalu jika muncul pertanyaan: bagaimana
jika kita mempertanyakan status Pancasila di negeri ini? Jawabannya sederhana,
mempertanyakan status Pancasila sama halnya mempertanyakan status Tuhan.
Sementara menafikan eksistensi Pancasila berarti menafikan eksistensi Muhammad
yang selama ini kita puja karena kita menodai substansi Piagam Madinah yang
tertuang dalam Pancasila.
Mustofa Abi Hamid
Physics Education ‘09
University
of Lampung (Unila)
Address :
Jln. Soemantri Brojonegoro no.13 Gedung Meneng Bandarlampung
Post Code : 35145
HP :
0856.6666.090
0897.6126.033
Ph :
(0721) 783044
Twitter :
@mustofaabihamid
www.mustofaabihamid.blogspot.com
No comments:
Post a Comment