"Banyak prosiding dan jurnal yang ditengarai mutunya tidak terjamin ditindak tegas oleh Scopus"
Belakangan gaduh lagi perkara jurnal bereputasi di Indonesia. Terbaru, Dirjen Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemristekdikti Ali Ghufron Mukti menyebutkan, terjadi malapraktik publikasi. Tindakan ini mengacu pada temuan PAK Kemristekdikti yang menyebutkan terdapat ketidakwajaran dalam karya ilmiah akademisi kita: self citation, jumlah publikasi ilmiah yang tidak wajar, hingga penulis hantu (ghost author). Sebelumnya, Rizky Amelia Zein (The Conversation, 16/11) menyebutkan hal yang kurang lebih sama.
Obsesi pada Scopus sebagai pengindeks jurnal bereputasi berpangkal pada kebutuhan akan citra positif kampus. Secara spesifik pada pemeringkatan Quacquarelli Symonds yang salah satu kriterianya jumlah dokumen Scopus dan sitirannya. Apa sebenarnya yang membuat kita tergila-gila dengan Scopus? Jika ditelisik, sebenarnya memang ada yang kurang pas pada kebijakan atas publikasi karya ilmiah bereputasi. Pada 2012 sebagai salah satu milestone, kita pernah dikagetkan oleh surat edaran terkait kewajiban publikasi Scopus.
Bukan publikasi Scopusnya yang membuat heboh, melainkan visi publikasi edaran tersebut. Disebutkan bahwa kita saat itu kalah dari Malaysia. Tepatnya, total dokumen kita lebih rendah dari Malaysia. Jika kita telisik, jejak digital dalam setiap penyampaian capaian publikasi selalu kita dapati, “Kita posisi sekian di ASEAN. Di belakang Thailand, Singapura, dan Malaysia.” Ini selalu diulang tiap tahun dengan menghilangkan satu per satu negara kompetitor. Dengan semangat ingin mengatasi ketertinggalan itu akhirnya pada pengujung tahun ini kita sudah mendekati visi.
Kita sudah menempel ketat Malaysia pada angka 20 ribuan dokumen dan meninggalkan Singapura pada angka 14 ribuan selama setahun. Pernyataan Ali Gufron itu sedikit membingungkan jika kita bandingkan dengan realitas yang ada. Pertama, pemangku kebijakan memang menginginkan kita menjadi yang terbaik di ASEAN dan itu hampir tercapai. Kedua, malapraktik publikasi yang sedemikian parah menunjukkan bahwa pemerintah tidak pernah secara serius memperhatikan persoalan riset dan publikasi, yang seolah terlihat kaget atas capaian rupa-rupa publikasi kita. Ketiga, jika kita fokus pada kuantitas maka tidak perlu ada pernyataan terkait indikasi malapraktik, namun jika memang kita fokus pada mutu maka tidak perlu kita berbangga atas capaian kuantitatif. Jika merujuk pada website Scopus, maka bisa kita dapati penyebab Indonesia mencapai puncak yaitu banyaknya dokumen prosiding terindeks Scopus yang mendominasi perolehan kita. Berurutan pada 2018, Indonesia (12 ribuan), Malaysia (5 ribuan), dan Singapura (2 ribuan) sebagai negara dengan dokumen prosiding terindeks Scopus terbanyak.
Artinya, Malaysia dan Singapura saat ini memang sudah lebih fokus pada publikasi artikel jurnal dan bukan prosiding. Karena itu, tidak ada yang perlu dibanggakan ketika sudah “mengalahkan” mereka, mengingat proses penerbitan antara prosiding dan artikel jurnal tidak bisa disamakan. Prosiding bisa langsung terbit dan terindeks hanya dalam beberapa bulan setelah seminar diselenggarakn, sedangkan artikel jurnal dari pertama kali dikirim bisa beberapa bulan hingga beberapa tahun. Angka-angka ini menjadi penting untuk dibahas terkait dengan Scopus hapus-hapus atau statusnya yang discontinue. Yakni, tidak lagi terdaftar dalam indeks Scopus.
Banyak prosiding dan jurnal yang ditengarai mutunya tidak terjamin ditindak tegas oleh Scopus. Prosiding terindeks misalnya, ada yang dari Advanced Science Letter, sedangkan dari jurnal misalnya Man in India (Sumber: Scopus). Jika kita mau jujur, bukan tidak mungkin ketika dikurangi artikel-artikel di penerbit yang discontinued, posisi riil kita tidak di peringkat pertama. Karena itu, positioning mutu seharusnya menjadi bagian utama dibandingkan dengan peringkat secara kuantitas, selain juga impact yang sering kita kesampingkan.
Manipulatif
Apus-apus dalam bahasa Jawa artinya tipu-tipu, manipulatif, akal-akalan. Selain persoalan discontinue oleh Scopus, yang perlu mendapat perhatian adalah apresiasi yang tidak boleh dipukul rata atas satu capaian dengan capaian lain. Seolah kita lupa bahwa menulis adalah proses dan setiap proses akan dihargai sesuai dengan tingkat kesulitannya. Benar bahwa kewajiban Scopus mendapat respons yang beragam di kalangan akademisi kita, persis sama seperti di Malaysia pada kurun satu dekade lalu. Secara garis besar, respons terdiri atas dua kelompok. Pertama, penolak Scopus yang notabene belum pernah menerbitkan paper terindeks Scopus dan yang sudah pernah menerbitkan artikel di Scopus. Bagi mereka, Scopus adalah representasi “penindasanÔ dan ketidakpahaman atas ketimpangan sumber daya.
Ya, sumber daya manusia (SDM), jejaring, infrastruktur dan lain-lain. Kedua, mereka yang menerima kewajiban ini karena memang merasa Scopus adalah tahapan kualitas menulis. Hal ini sejalan dengan beberapa kolega yang belum menerbitkan artikel Scopus tetapi menganggap itu sebagai capaian proses. Masalah muncul berbentuk tipu-tipu karena kewajiban ini mau tidak mau harus berjalan.
Hasilnya, baik akademisi maupun pembuat kebijakan memperlunak aturan main: lewat prosiding terindeks dan melobi Scopus agar bisa memfasilitasi jurnal dengan kekhasan Indonesia. Ternyata keduanya berhasil, dalam artian, kita mampu mengakselerasi jumlah dokumen dalam database Scopus. Bagaimanapun, prosiding tidak sama dengan jurnal. Prosiding adalah capaian “sementara” dari sebuah riset yang hendak didiskusikan di forum akademik. Karena itu, secara ideal, seminar-seminar pun dikerjakan oleh asosiasi keilmuan, bukan sembarang penyelenggara.
Di sisi lain, prosiding sekalipun terindeks Scopus (ataupun Clarivate Analystics) sering kali terbit dengan syarat yang sangat mudah: asal sanggup bayar. Kualitas artikel, termasuk kebaruan, bukanlah prioritas dalam publikasi prosiding terindeks. Hal ini berbeda dengan jurnal yang relatif lebih ketat. Persoalan lain adalah negosiasi kata kunci “Indonesia” sebagai syarat agar jurnal di Indonesia bisa terindeks Scopus.
Beberapa jurnal di Indonesia yang memiliki kata “Indonesia” mendapat keistimewaan untuk diindeks. Bukan hanya kemudahan syarat keragaman asal penulis, beberapa artikel yang diterbitkan juga diragukan mutunya oleh kolega sejawat. Di satu sisi keistimewaan ini baik untuk mendorong publikasi jurnal di Indonesia. Namun jika salah visi (lagi), bukan tidak mungkin justru menjadikan jurnal dan akademisi kita jago kandang. Persoalan itu sebenarnya sudah teridentifikasi oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Malapraktik dan ketimpangan sumber daya antarkampus adalah sedikit dari kompleksitas tantangan ke depan. Masalah pertama, partisipasi asosiasi keilmuan dalam mengawal kegiatan akademik sesuai dengan kompetensi. Masalah kedua, kita punya Relawan Jurnal Indonesia yang jejaringnya hampir seluruh Indonesia dalam mengedukasi dan mendampingi jurnal- jurnal terbitan kampus. Paling penting, tentu dari sisi pembuat kebijakan, ada baiknya mulai membuat rencana yang lebih terukur. Tidak sebatas untuk menang-kalah dengan negara lain. Jika kita hendak fokus pada perbaikan publikasi, kembalikan urusan peng-indeks-an ini ke jalan yang benar. Biarlah pengindekan menjadi domain pengelola jurnal. Beri apresiasi mereka secara lebih baik.
Para akademisi, peneliti ataupun dosen fokus saja pada riset dan menulis yang berkualitas. Selain apresiasi bersifat nominal, perlu juga apresiasi lain terkait dengan marwah sebagai akademisi.
Artikel ini dimuat di Harian Suara Merdeka ditulis oleh Cahyo Seftyono, dosen Ilmu Politik Unnes, Lead Editor pada Indonesian Political Science Review (Sinta 2).
No comments:
Post a Comment