Bagi Nahdlatul Ulama (NU), persoalan hubungan Islam dan Indonesia sudah final dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Jadi sah atau tidaknya Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menurut kacamata hukum Islam tak perlu diperdebatkan. Pasalnya, membicarakan UUD 1945, Pancasila dan NKRI, pasti melibatkan NU dalam perdebatan tersebut. Karena NU berpendirian bahwa Pancasila dan NKRI merupakan bentuk final dari cita-cita kenegaraan umat Islam Indonesia.
Sembilan tahun sebelum kemerdekaan Republik Indonesia dari kungkungan bangsa penjajah (Jepang dan Belanda), NU sudah mendorong berdirinya negara Darussalam, bukan negara Islam. Sikap dorongan tersebut diputuskan dalam Muktamar NU di Banjarmasin pada tahun 1936, atau 9 tahun sebelum kemerdekaan Indonesia.
Menurut Ketua Umum PB NU Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj,MA., Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang merupakan cucu Hasyim Asy’ari juga tanpa ragu-ragu selalu menegaskan empat prinsip hubungan kenegaraan yang dipegang NU, yaitu NKRI, Pancasila, UUD 1945 serta Bhinneka Tunggal Ika. Untuk meneguhkan prinsip tersebut, dalam setiap pelantikan pengurus NU di semua tingkatan, empat pilar kenegaraan tersebut selalu menjadi komitmen yang harus dijaga.
Wakil Presiden RI Boediono ketika membuka Global Peace Leadership Conference yang berlangsung di Jakarta, menyatakan rasa terima kasihnya atas upaya-upaya yang dilakukan Nahdlatul Ulama dalam menjaga dan mempertahankan Indonesia dari berbagai ancaman. NU merupakan pengawal Indonesia, terima kasih kepada NU.
Dalam pandangan NU, terdapat empat macam persaudaraan. Pertama, persaudaraan sebagai sesama anak bangsa (ukhuwah wathoniyah), kedua, persaudaraan sebagai sesama umat Islam (ukhuwah islamiyah), ketiga, persaudaraan sesama warga NU (ukhuwah nahdliyyah) dan keempat, persaudaraan sesama umat manusia (ukhuwah insaniyah). Dengan empat macam persaudaraan ini, sehingga NU dapat bekerjasama dengan berbagai pihak. Baik lintas agama, keyakinan, etnis, bangsa dan negara. Berbagai kerjasama, pertemuan, dialog dan kunjungan ke dan dari lintas agama, keyakinan, etnis, bangsa dan negara menjadi kegiatan rutin NU (PBNU). Dengan prinsip kemasyarakatan tawasuth, tasamuh, tawazun dan amar ma’ruf nahi munkar, NU dapat diterima oleh berbagai pihak.
Yang dimaksud tawasuth (moderat) ini, sebuah sikap keberagamaan yang tidak terjebak terhadap hal-hal yang sifatnya ekstrim.
Tasamuh, sebuah sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang menerima kehidupan sebagai sesuatu yang beragam.
Tawazun (seimbang), sebuah keseimbangan sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang bersedia memperhitungkan berbagai sudut pandang, dan kemudian mengambil posisi yang seimbang dan proporsional.
Amar ma’ruf nahi munkar, mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Prinsip ini selalu menjadi acuan bagi NU dalam bersikap dan bertindak. Demikian NU amat memahami adanya perbedaan diantara elemen-elemen bangsa.
Namun, perbedaan tersebut bukan berarti meniadakan pihak lain dan memaksakan kehendak sendiri kepada pihak lain. Sehingga NU menolak melakukan tindakan kekerasan yang belakangan ini marak terjadi. Baik tindakan radikalisme, teroris maupun penghakiman terhadap kelompok tertentu. Apalagi tindakan tersebut mengatasnamakan agama, dimana agama Islam sendiri tidak menghendaki terjadinya kekerasan, radikalisme dan teroris yang mencelakakan masyarakat tertentu.
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, hubungannya dengan NU (sangat itu menjadi Partai NU) semakin terjalin dengan baik. Soekarno terus berupaya merangkul NU agar apa yang direncanakannya mendapatkan dukungan dari NU. Kedekatan Soekarno mulai merenggang dengan terjadinya kudeta / pemberontakan Gerakan 30 September (G 30 S/PKI) tahun 1965. Karena Soekarno dinilai dekat dengan PKI. Tak heran di pertengahan dekade 1960-an, posisi NU dilematis. Namun, paska G 30 S PKI tersebut, NU dengan tegas menempatkan kepentingan umat Islam secara makro, sehingga ikut andil membasmi PKI. Banyak tokoh masyarakat yang dituduh PKI akan dihabisi, dengan mendapatkan simbol (kartu) atau jaminan tokoh NU, selamat dari ancaman pembunuhan gerakan anti PKI.
Pergantian tampuk kekuasaan di Indonesia juga menyebabkan masa suram bagi NU, namun tetap eksis. Ini terlihat masa pemerintahan Orde Baru dibawah Soeharto, NU benar-benar dikerdilkan. Apalagi sejak NU dipaksa berfusi ke Partai Persatuan Pembangunan dengan partai lain yakni, PSII, Perti dan Parmusi.
Banyak kader NU ditekan, diintimidasi dan dimatikan karirnya. Mereka harus memilih, tetap di NU atau dicopot dari jabatannya. Tidak sedikit kader NU yang karirnya dihalangi. Kader potensial NU pun banyak yang tidak diberikan kesempatan untuk berkembang dalam membangun bangsa Indonesia. Tak heran banyak kader NU yang enggan mengakui NU karena takut kehilangan jabatan atau karirnya berhenti. Kalau pun ada, tidak banyak yang diberikan kesempatan untuk berkembang sekedar penjawab tanya. Politik Orde Baru yang menjalankan dua partai politik dan satu golongan karya yang mendukung pemerintahan Soeharto.
Banyak kader NU ditekan, diintimidasi dan dimatikan karirnya. Mereka harus memilih, tetap di NU atau dicopot dari jabatannya. Tidak sedikit kader NU yang karirnya dihalangi. Kader potensial NU pun banyak yang tidak diberikan kesempatan untuk berkembang dalam membangun bangsa Indonesia. Tak heran banyak kader NU yang enggan mengakui NU karena takut kehilangan jabatan atau karirnya berhenti. Kalau pun ada, tidak banyak yang diberikan kesempatan untuk berkembang sekedar penjawab tanya. Politik Orde Baru yang menjalankan dua partai politik dan satu golongan karya yang mendukung pemerintahan Soeharto.
Bagi warga NU tidak perlu membenturkan antara Pancasila dengan Islam. Pancasila merupakan konsep bernegara yang dirumuskan oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tahun 1945. Sedangkan Islam adalah agama dari Allah SWT yang diturunkan untuk manusia melalui Nabi Muhammad SAW.
Dalam kamus NU, kalau kita setia kepada Islam, kita harus setia kepada negara. Sebab, negara adalah bagian dari kegiatan masyarakat yang dibuat bersama dengan orang lain. Akidah, adalah kegiatan yang milik kita sendiri. Ada beda, tapi tetap dalam satu kaitan.
Dalam kamus NU, kalau kita setia kepada Islam, kita harus setia kepada negara. Sebab, negara adalah bagian dari kegiatan masyarakat yang dibuat bersama dengan orang lain. Akidah, adalah kegiatan yang milik kita sendiri. Ada beda, tapi tetap dalam satu kaitan.
Dengan demikian, jika bangsa ini terus memperkuat NU, maka secara langsung pun ikut memperkuat berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena dalam perjalanan sejarah bangsa, jika ada kekuatan yang ingin menghancurkan NKRI, NU selalu tampil ke depan bersama kekuatan elemen bangsa Indonesia yang lain. Sehingga tidak mengherankan kalau NU terus diberi peran untuk ikut aktif dalam berbagai kebijakan di negeri ini.
Mustofa Abi Hamid
Physics Education ‘09
Lampung University
Jln. Soemantri Brojonegoro no.13 Gedung Meneng Bandarlampung Post Code : 35145
HP : 0856.6666.090
e-mail :abi.sma4@gmail.com
www.mustofaabihamid.blogspot.com
No comments:
Post a Comment