Oleh: Mustofa Abi Hamid, S.Pd. (Sekretaris Umum PC. PMII Kota Bandarlampung; Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Padang).
Sejak tahun 1998, Indonesia
mengalami perubahan besar berupa reformasi di semua lini pemerintahan, mulai
dari reformasi kelembagaan, reformasi ekonomi, dan transformasi masyarakat. Reformasi
kelembagaan mampu menumbangkan rezim otoritarian dan sentralistik menuju
demokrasi pancasila dan desentralistik.
Gejala 1:
Korupsi dan suap menjadi praktek sosial
Bukan rahasia lagi, para pejabat yang berkuasa banyak
melakukan berbagai praktek penyalahgunaan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan
menerima suap. Mereka berasal dari lembaga-lembaga negara mulai eksekutif
(menteri, birokrat, kepala daerah), lembaga legislative (DPR dan DPRD) dan
lembaga yudisial (hakim), serta melibatkan lembaga penegak hukum (polisi dan jaksa). Bentuknya bisa beraneka ragam mulai dari yang
paling terang-terangan sampai gelap-gelapan. Spektrumnya bisa sangat luas dari
menghapus atau menyelipkan pasal-pasal ketika menyusun perundang-undangan,
sampai kongkalingkong antara actor politik dan pengusaha atau antara petugas
dan pembayar pajak. Kendatipun upaya-upaya pemberantasan korupsi sudah
dilakukan, tidak bisa dimungkiri bahwa kenyataannya selalu ada upaya serangan
balik dari para koruptor atau pihak-pihak yang kepentingannya terancam, untuk
menggagalkan atau melemahkan institusi pemberantasan korupsi.
Bila kita cermati fenomena korupsi dan praktek suap yang
akut ini maka bisa dianalisasi bahwa akar politik-ekonominya adalah anarki
dalam perebutan alokasi dan distribusi sumberdaya ekonomi, sementara akar
budayanya dibalut oleh pengejaran tanpa akhir terhadap kedudukan, status
sosial, gaya hidup dan prestise sosial dengan konsumsi budaya material sebagai
penyangga utamanya. Pragmatisme
individual dan kenikmatan pribadi ditonjolkan, sebaliknya kepentingan bangsa
ditinggalkan.
Gejala 2:
Produk Perundang-undangan yang merugikan rakyat
Ada banyak produk peraturan
perundang-undangan yang berpotensi kuat merugikan rakyat karena lahir dari sistem perekonomian Indonesia yang
berwatak kolonial. Sejak awal reformasi ekonomi bahkan sebagian jauh sebelumnya
pada era Orde Baru, berbagai revisi perundangan-undangan bercorak liberal
dilakukan untuk memenuhi tekanan internasional yang menghendaki system
perekonomian Indonesia yang pro-pasar seluas-luasnya. Ini adalah bagian dari
skema ekonomi yang sepenuhnya didikte oleh kepentingan lembaga-lembaga donor
dan keuangan internasional yang berkolaborasi dengan korporasi multnasional
untuk mengeruk kekayaan bumi Indonesia. Dengan dalih untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi, lembaga-lembaga tersebut bukan saja menggelontorkan utang
kepada RI, tetapi juga menuntut konsesi agar RI membuka diri terhadap investasi
asing, privatisasi dan liberalisasi perdagangan dan keuangan lewat reformasi
kebijakan.
Situasi ini semakin berlanjut ketika RI
dililit utang saat krisis ekonomi 1997 dan IMF kembali memaksakan resep ekonomi
dalam bentuk program penyesuaian structural (structural
adjustment policy) agar pemerintah membuka seluas-luasnya terhadap pasar
dan investasi. Sejumlah peraturan perundangan-perundangan pun lahir,
seperti UU Penanaman Modal, UU Minerba,
UU Migas, UU Sumberdaya Air dan lainnya. Selain RI dijajah lewat
perundang-undangan, lemahnya SDM dan teknologi yang ketinggalan menjadi alasan
penyerahan pengelolaan SDA dan sector finansial dikuasi asing. Dus, sistem hukum ekonomi RI tidak berpihak
pada kemandirian, sementara aktor-aktor dalam pemerintah tidak
memiliki keberpihakan pada rakyat.
Gejala 3:
Merosotnya kebajikan bersama (common
good) dan kesukarelaan
Ada fenomena sosial yang berkembang
pesat di tengah-tengah masyarakat kita belakangan ini yakni suatu praktis
sosial yang ditandai oleh merosotnya kesadaran bersama tentang tanggung jawab,
kebajikan bersama, saling percaya dan kesukarelaan. Dalam hampir semua kagiatan, uang dan imbalan materi lainnya menjadi dasar bagi
berlangsungnya partisipasi warga. Dalam semua kegiatan itu, segala aktivitas
dijalankan secara transaksional. Sementara kesukarelaan, keikhlasan, dan
altruism sebagai basis tindakan sosial kolektif berkurang. Datang ke
pertemuan-pertemuan komunitas, rapat-rapat organisasi, kampanye partai,
preferensi pilihan dalam pemilu, kesediaan untuk membantu dan bersolidaritas
dan lain-lainnya hampir-hampir saja mustahil tanpa melibatkan imbalan dalam
bentuk yang berbeda-beda. Secara sinikal fenomena ini dinyatakan lewat ungkapan
“wani piro?” pada sebuah iklan produk di televisi dan tiba-tiba menjadi
sedemikian popular dalam perbincangan sehari-hari. Pada giliran gejala ini menjadi habitus sosial dimana imbalan dan uang
tiba-tiba menjadi sangat penting dan menentukan kebaikan bersama (common good).
Gejala 4:
Intoleransi dan Kekerasan
Apa yang membuat gusar kita hari ini adalah bahwa demokrasi menjadi
“democrazy”, dan kebebasan menjadi anarki. Orde reformasi yang mengakhiri
belenggu otoritarianisme dan sentralisme pemerintahan Orde Baru, ternyata
berkembang sedemikian jauh sehingga kebebasan terasa melampaui batas yang
menghancurkan ikatan batin kita sebagai sebuah bangsa. Meningkatnya intoleransi
terhadap perbedaan identitas dan disharmoni sosial yang diwarnai dengan aksi
kekerasan seolah-olah menjadi harga yang harus dibayar. Kekerasan dan
intimidasi semacam ini seringkali digunakan sebagai jalan keluar untuk
menyelesaikan masalah, sementara dialog rasional, kritis dan dari hati ke hati
dianggap sebagai jalan yang bertele-tele. Hal yang amat menggelisahkan kita
juga adalah capaian demokrasi yang menyediakan kebebasan ternyata digunakan
oleh sebagian kelompok untuk memaksakan keyakinannya atas yang lain berdasarkan
superioritas dan klaim kebenaran tunggal. Dalam konteks ini, kebersamaan dilukai dan kebhinnekaan
dicampakkan.
Gejala 5:
Media Massa sebagai alat propaganda ekonomi, politik dan budaya
Pers bebas dianggap sebagai salah satu elemen pilar
demokrasi. Fungsinya sebagai medium informasi public sangat efektif untuk
menyampaikan pesan, protes dan bahkan alat control kekuasaan. Kendati demikian,
media massa baik cetak maupun elektronik tak diragukan lagi menjadi salah satu
kekuatan penting dalam pembentukan opini public ketimbang sekedar menyalurkan
pandangan dan pendapat masyarakat. Sering kita lihat media massa membawa
sendiri pesan politiknya atau bahkan membawa pesan pesanan orang lain. Kerap
kali pula media massa menyamarkan peran sebenarnya sebagai actor yang juga
memiliki kepentingan politik atau ekonomi terkait owner-nya.
Dalam konteks ini, media massa seringkali menyajikan
berita atau informasi yang terseleksi dan tidak berimbang bahkan pada
momen-momen tertentu bersifat disinformatif dimana public dihadapkan pada
situasi yang sulit mencerna antara informasi yang benar, gossip atau propaganda
politik. Lebih dari itu semua, media massa cenderung menampakkan diri sebagai alat ideologis dari
suatu kebudayaan besar yang memanfaatkan pasar konsumen Indonesia sebagai objek
distribusi produk-produk luar yang dibarengi dengan industri gaya hidup yang hedonis dan konsumeris yang merayu public. Dus, media massa hari ini bukan hanya agen
informasi yang merepresentasi kepentingan ekonomi dan politik kelompok-kelompok
kepentingan tertentu, tetapi sekaligus agen kebudayaan penting yang melemahkan
kepribadian kebudayaan masyarakat sendiri.
Gejala 6:
Ekstrimisme agama
Ekstrimisme keagamaan muncul karena pandangan melampaui
batas yang dianut oleh sekelompok aliran yang memahami ayat-ayat suci secara
tekstual tanpa mempertimbangkan konteks sosial, kesejarahan dan lokalitas. Di
Indonesia, ekspresi ekstrimisme keagamaan ini muncul dalam bentuk mulai dari
sesat-menyesatkan, kafir-mengkafirkan, kengganan untuk berdialog secara sehat
dan adil, hingga tindak kekerasan dan kehendak untuk mengganti ideologi negara
dengan ideologi khilafah.
Tidak bisa dimungkiri bahwa ideologi ekstrimisme ini terus
menerus diproduksi dan direproduksi baik melalui perebutan masjid-masjid maupun
lewat sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Yang lebih menggusarkan lagi, semakin
lama ideologi ini berkembang di kalangan mahasiswa dan anak-anak muda yang
bagaimanapun keberadaannya bisa merobek-robek corak pandangan keagamaan
masyarakat yang tawasuth dan ramah terhadap tradisi budaya yang hidup dan
berkembang di masyarakat.
Bagaimana cara memahami secara lebih tepat gejala-gejala krisis politik
dan kebudayaan di Indonesia yang sedang berubah ini dengan situasi dan
kondisi-kondisi yang terjadi di arena global? Kapan situasi local terkait
dengan situasi global, dan kapan pula yang local berkembang dalam dinamikanya?
Adalah globalisasi yang memungkinkan peristiwa yang
terjadi di suatu tempat berpengaruh terhadap kejadian di tempat lain yang
berbeda. Globalisasi dicirikan oleh “intensifikasi
relasi-relasi sosial mendunia yang menghubungkan lokalitas-lokalitas yang
berjauhan dalam satu cara yang sedemikian rupa sehingga kejadian yang
berlangsung di suatu tempat tertentu dibentuk oleh peristiwa-peristiwa yang
terjadi bermil-mil jaraknya, dan demikian pula sebaliknya”. Secara
kelembagaan relasi-relasi mengglobal ini didukung oleh kapitalisme,
industrialisme, sistem negara bangsa, dan militerisme. Perkembangan teknologi
yang semakin pesat memungkinkan kemajuan pesat pula pada empat institusi di
atas sehingga relasi-relasi antar peristiwa dan kejadian semakin intensif.
Globalisasi juga ditandai oleh
konsep-konsep seperti etno-scape dimana orang modern terus menerus memperbaharui
kemodernannya dengan cara mendatangi etnis yang menurutnya terbelakang; capital-scape dimana perputaran
uang pada ranah global sehingga uang itu sendiri tidak memiliki
“kewarganegaraan” lagi; ideo-scape, artinya
ide yang dapat melewati batas trans-national. Sebagai contoh, gejala terorisme
yang ada di Timur Tengah dapat merembet ke Indonesia; dan media-scape yang mendorong dan mengkonstruksi pemikiran
kita. Saat ini kita tidak dapat membendung arus informasi yang semakin kuat
paska adanya teknologi, seperti internet. Misalnya: peristiwa G30S terkait dengan perebutan pengaruh dalam perang
dingin antara blok Barat dan Blok Timur; demonstrasi aktifis PKS di KFC
Surabaya berhubungan erat dengan film “The Innocence of Muslim” yang dibuat di
Amerika; atau naiknya harga minyak di pelosok desa Kulon Progo terkait erat
dengan ketegangan politik dan militer di Selat Hormuz, Teluk Persia.
Kendati demikian, bukan berarti lokalitas sepenuhnya
ditentukan secara total dan menyeluruh oleh situasi global. Lokalitas juga
memiliki dinamika sendiri akibat dari basis material dan kebudayaan dimana
proses persaingan dan aspirasi kepentingan, pandangan hidup dan ide-ide antar
actor dan kelompok-kelompok dalam masyarakat tersebut berlangsung. Dinamika
antar aktor ini sangat menentukan apakah lokalitas tunduk pada skenario global, mengabsorbsi, menegosiasi atau justeru melawannya.
Situasi
ini sebenarnya bisa diprediksi dan diramal meskipun tidak secara tepat
sempurna. Karena itu selalu ada jalan untuk mengantisipasi, membangun strategi,
dan menyusun agenda bersama.
No comments:
Post a Comment