Oleh: Prof. Dr.
KH. Said Aqil Siradj, M.A.; Ketua Umum PBNU
Seorang ”kiai kampung” di sebuah daerah di Jateng yang
mengungkapkan kegembiraan sekaligus kegelisahannya. Menurut dia, sekarang ini banyak
kalangan santri yang setelah keluar dari pesantren berkecimpung dalam banyak
bidang kehidupan. Berbagai profesi dimasuki. Hal itu menggembirakan. Tapi, ada
yang menggelisahkan. Yakni, munculnya fenomena ”kekalapan” di kalangan santri,
terutama sekali yang menonjol saat mereka memasuki wilayah politik. Mereka
tampak gagap dan, celakanya, hilang kendali.
Si kiai tersebut mencontohkan, ada seseorang di daerahnya yang
mondok bertahun-tahun di sebuah pesantren salafiyah dan dikenal dengan kajian
kitab kuningnya yang mendalam. Setelah keluar, dia menekuni dunia politik.
Setelah menjadi wakil rakyat, dia jadi ”ugal-ugalan”. Main sikut
sana-sini sehingga mencederai masyarakat. Dia, tampaknya, sudah tidak
memedulikan akhlak yang didalami di pesantren.
Gaya hidupnya tidak mencerminkan kesederhanaan seperti ajaran
kiainya. Dia hidup flamboyan lazimnya orang-orang the have. Belum lagi, santri
yang berperan menjadi broker dan bekerja secara zig-zag demi mencapai
kepentingan instan. Mereka tidak lagi bekerja dengan idealisme, tetapi
pragmatis. Nah, dari fenomena seperti itu, tak heran ada gerutuan, jangankan
menjadi teladan, seorang santri malah menjadi bahan umpatan.
Fakta tuturan si kiai tersebut memang ada. Tetapi, ini tidak
menggeneralisasi, hanya terlihat cukup mengemuka dan merata mulai kota hingga
daerah. Sudah ada celotehan di kalangan masyarakat bahwa sekarang ini tidak ada
bedanya antaramereka yang pernah mengenyam pendidikan agama dan yang
tidak. Bahkan, dunia sudah terbalik-balik. Mereka yang tidak punya basis
keilmuan agama tampil dengan cemerlang, berakhlak baik, dan ketika menjadi
pemimpin terlihat benar-benar amanah, merakyat, dan bekerja dengan baik.
Dengan fenomena seperti itu, dikhawatirkan nanti ”dunia santri”
mendapat stigma yang miring. Dampaknya, alih-alih menginginkan
anaknya menjadi ahli agama, untuk menyekolahkan di sekolah agama atau pesantren
saja, mereka enggan.
Istilah ”santri” berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu ”cantrik”
yang berdiam diri bersama guru dalam sebuah asrama demi memperdalam ilmu agama
dalam beberapa waktu lamanya. Asrama disebut ”gurukulla” yang kalau disamakan
di lingkungan muslim sepadan dengan istilah ”pesantren”. Dalam
tulisan ini, istilah ”santri” merujuk pada mereka yang pernah mengenyam
pendidikan di pesantren dan telah membentuk menjadi sebuah ”subkultur” sendiri.
Ada penyebutan yang populer, yaitu ”kultur santri”.
Selama dasawarsa ini, di lingkungan santri dan pesantren, terutama
keluarga kiai, muncul ”pergeseran” orientasi keilmuan. Kalau dulu, hampir semua
anak kiai dan kerabatnya pasti akan dikirim ke pesantren dengan tujuan mereka
menjadi kiai pula. Seiring waktu, banyak kalangan keluarga kiai yang
menyekolahkan anak-anaknya di perguruan tinggi umum. Dalam konteks keilmuan,
tentu saja fenomena itu sehat-sehat saja. Dinamika kemajuan zaman telah
memantik kesadaran di lingkungan pesantren untuk meningkatkan kemampuan
intelektualnya secara lebih luas.
Pada wilayah ini, hal tersebut tidaklah menimbulkan dampak yang
problematis. Hanya, yang masih kerap terlontar di kalangan santri, saat ini
telah terjadi krisis ulama lantaran banyak santri yang sudah kurang berminat
mendalami ilmu agama. Para santri lebih kepincut dengan memburu gelar-gelar
mentereng serta jabatan-jabatan prestise ketimbang menjalani hidup sebagai ”guru
ngaji” yang membimbing dan peduli terhadap masyarakat tempat mereka tinggal.
Fenomena tersebut sempat menjadi bahan diskusi hangat di kalangan
kiai NU ketika pembahasan dihubungkan dengan fenomena maraknya
kelompok-kelompok Islam puritan dan radikal. Kalangan Islam puritan tersebut
terlihat lebih ”istiqamah” dalam mengkaji ilmu agama seperti mendalami ilmu
hadis dan tafsir. Mereka itu hidup ber-halaqoh yang secara intensif ”mengaji”
dan mendakwahkan pandangan puritanismenya kepada masyarakat. Ternyata tidak
sedikit masyarakat yang tertarik dengan dakwah mereka.
Sementara itu, kalangan santri nahdliyin dalam mempelajari agama
terlihat kurang intensif, bahkan kemajon. Mereka gampang meloncat-loncat.
Mereka lebih bangga bila membaca buku-buku intelektual semisal karya Arkoun,
Hassan Hanafi, dan Khalil Abdul Karim.
Kembali ke soal moral, di sinilah fokus amatan dalam melihat
pergeseran perilaku santri yang patut dikritisi. Walaupun, sebenarnya persoalan
moral dengan tingkat degradasinya yang drastis telah melanda semua kalangan.
Kasus-kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang telah menimpa hampir semua
lapisan masyarakat mulai atas hingga bawah. Kasus operasi tangkap tangan (OTT)
terhadap Ketua MK Akil Mochtar dan legislator Chairun Nisa serta konco-konconya
oleh KPK jelas menunjukkan betapa ”lemah”-nya moral pejabat. Itu ibarat
fenomena gunung es.
Nah, pergeseran akhlak di lingkungan santri ini sudah saatnya
mendapat perhatian serius. Moralitas jelas tidak boleh ditanggalkan. Krisis
keteladanan yang sering terlontar saat ini sesungguhnya berpangkal pada krisis
moral. Kaum santri dengan kulturnya yang menyimpan banyak ajaran moralitas dan
kearifan harus dikedepankan kembali. Kita tidak ingin melihat robohnya ”kultur
santri” karena menguatnya arus kekalapan, keserakahan, serta kedurjanaan.
Sebab, membangun peradaban adiluhung akan selalu berangkat dan berakhir dengan
akhlak.
Sumber: Jawa Pos
Memang memprihatinkan. Ada kiai pemimpin sebuah pesantren yang anak-anaknya disekolahkan di perguruan tinggi yang tradisi agamanya kurang. Akhirnya, yang meneruskan pesantrennya adalah menantunya dan bukan anaknya asli.
ReplyDelete