Kelompok Keilmuan dan Masyarakat Keilmuan, Dua Mata Pengetahuan Anti Scopus Apus-apus - Mustofa Abi Hamid's Blog

Update

Sunday, December 16, 2018

Kelompok Keilmuan dan Masyarakat Keilmuan, Dua Mata Pengetahuan Anti Scopus Apus-apus

Cahyo Seftyono di dalam Wacana di Suara Merdeka, 30 Nopember 2018 menyampaikan bahwa ada persoalan serius terkait riset dan publikasi terkait dengan pernyataan Ali Gufron Mukti, Dirjen Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemristekdikti, baru-baru ini tentang adanya malapraktik publikasi.

Dia juga menyampaikan bahwa jika kita fokus pada kuantitas maka tidak perlu ada pernyataan terkait indikasi malapraktik, namun jika memang kita fokus pada mutu maka tidak perlu kita berbangga atas capaian kuantitatif. Lebih lanjut dia mencermati bahwa publikasi terindeks Scopus yang mendominasi adalah makalah prosiding konferensi sedangkan makalah di jurnal masih kurang. Hal-hal yang disebutkan di atas terkait dengan partisipasi masyarakat keilmuan dalam mengawal kegiatan akademik dan peran jurnal-jurnal dalam edukasi dan pendampingan.

Masih ada beberapa hal lain yang sangat penting dan belum tersentuh, yang saya akan tekankan berikut ini.

Sungai Pengetahuan: Riset dan Publikasi

Baiklah, pertama kita memosisikan dahulu di mana tempat riset dan publikasi. Dengan menggunakan analogi sungai di mana air mengalir dari hulu ke muara, maka sungai pengetahuan berhulu di riset dan bermuara di publikasi. Pengetahuan bergerak dari riset hingga ke publikasi.

Kita mulai dari bagian muara dari sungai pengetahuan yang dinamakan publikasi, yang terdiri dari dua kategori: makalah di prosiding dari konferensi dan makalah di jurnal. Prosiding konferensi dan jurnal tersebut mungkin tak terindeks atau terindeks di Google Scholar, Scopus, atau bahkan Clarivate Analytics (dulu Thomson-Reuters). Dengan tuntutan pen-Scopus-an atas publikasi, maka cemaran atas pengetahuan meningkat terjadi karena keberadaan prosiding konferensi dan jurnal Scopus apus-apus (apus-apus dari Bahasa Jawa yang berarti tipu-tipu), seperti telah dinamakan oleh Cahyo Seftyono. Prosiding konferensi dan jurnal terindeks Scopus apus-apus tidak menyediakan proses reviu sejawat (peer review) yang baik dan benar. Publikasi di prosiding konferensi dan jurnal Scopus apus-apus, dengan demikian, tak dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Yang ada adalah seringkali prosiding konferensi dan jurnal Scopus apus-apus hanya memangsa uang dari para penulisnya. Karena itu kehadiran prosiding konferensi dan jurnal Scopus apus-apus mencemari pengetahuan dengan cara menambahkan sampah dan limbah. Kita pun menjadi dipenuhi sampah dan limbah pengetahuan.

Dengan demikian, menghindari konferensi dan jurnal Scopus apus-apus adalah tindakan bijak, baik, dan benar. Salah satu caranya adalah kita mengenali siapa saja komite penyelenggara konferensi dan dewan redaksi jurnal. Hari ini kita sangat mudah mengenali siapa mereka dari profil mereka di Google Scholar dan mengunjungi posisi akademik mereka di universitas atau lembaga riset yang disebutkan. Jika kita tidak menemukan mereka di sana, mungkin saja mereka adalah para figur fiktif. Kita hindari konferensi dan jurnal demikian. Cara lainnya adalah kita membentuk mindset kita bahwa publikasi memerlukan proses reviu sejawat, memerlukan waktu, dan memerlukan revisi. Sejawat yang mereviu naskah kita memerlukan waktu untuk melakukan fungsinya. Apa pun komentar sejawat terhadap naskah kita adalah untuk kebaikan publikasi kita. Kita harus dengan senang hati merevisi naskah kita sesuai dengan komentar sejawat tersebut. Jika kita tidak menerima hasil reviu berupa komentar terhadap bagian per bagian dari naskah kita, boleh jadi konferensi atau jurnal tersebut termasuk yang Scopus apus-apus.

Kemudian kita bergerak ke bagian hulu dari sungai pengetahuan, yaitu riset. Kalau bagian hulu sudah tercemar, bagaimana kita dapat berharap bahwa bagian hilir yang berupa publikasi kita tidak akan dipenuhi oleh sampah dan limbah pengetahuan. Kita harus melakukan proses riset yang baik. Mulailah dengan memeroleh sumber bacaan berupa makalah-makalah terkini dari jurnal-jurnal yang bereputasi baik agar kebaruan, meski pun kecil, dapat diperoleh. Jika jurnal-jurnal Scopus apus-apus yang dibaca, maka mungkin kita “menemukan kembali roda (reinventing the wheel)”, yang seolah-olah kita menemukan kebaruan padahal sesungguhnya sudah dikemukakan oleh para periset sebelumnya. Dengan makalah-makalah terkini tersebut kita dapat mengemukakan pernyataan masalah dan pertanyaan-pertanyaan riset yang harus dijawab dengan menggunakan metodologi riset yang sahih. Kalau tidak, maka jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan riset tersebut menjadi bias dan bahkan keliru.

Kelompok Keilmuan dan Masyarakat Keilmuan

Selanjutnya kita bergerak lebih ke hulu lagi dari sungai pengetahuan, yaitu mata pengetahuan sebagai analogi dari mata air. Mata pengetahuan yang menjadi penghulu sungai pengetahuan harus baik. Agar riset dan publikasi baik, maka institusi universitas maupun masyarakat keilmuan sebagai dua mata pengetahuan harus ada dan baik.

Untuk itu, universitas harus membuat kelompok keilmuan (research group/division) di dalam jurusan yang dipunyainya agar iklim keilmuan yang baik dapat dijaga. Kelompok keilmuan yang dimaksud berbeda dengan program studi. Masih banyak jurusan bahkan universitas kita yang tak memilikinya. Di ITB, misalnya, ada sekira lebih dari 100 kelompok keilmuan. Keberadaan kelompok keilmuan sama sekali tidak terkait dengan status sebagai universitas (pendidikan) atau universitas riset. Setiap kelompok keilmuan harus memiliki peta jalan risetnya dan setiap riset dijalankan dengan metodologi riset yang sahih. Lokakarya spesifik dari kelompok keilmuan diselenggarakan untuk menyebarkan metodologi riset yang sahih. Seminar kecil dari kelompok keilmuan dihidupkan agar proses peer review (reviu sejawat) terhadap hasil riset berjalan dengan baik. Di dalam seminar kecil ini, kita mengembangkan kebiasaan bertanya kritis yang bermakna tidak lekas percaya dan menjawab kritis dengan makna tajam dalam analisis. Outcome (capaian) dari keberadaan kelompok keilmuan adalah bahwa pengajaran yang dilakukan oleh anggota dari kelompok keilmuan tersebut dimuati dengan hasil-hasil riset mutakhir. Ini adalah pengajaran idaman.

Kemudian, masyarakat keilmuan harus ada, banyak, dan beragam. Aneka masyarakat keilmuan menghimpun anggota mereka dari universitas maupun individu masyarakat yang berminat dengan keilmuan tersebut. Mereka bertanggung jawab untuk membina para anggota mereka untuk melakukan riset dengan baik serta mendiseminasikannya secara baik dalam pertemuan keilmuan atau jurnal keilmuan mereka. Iklim keilmuan yang baik harus dijaga oleh setiap masyarakat keilmuan dengan cara menyelenggarakan lokakarya, pertemuan keilmuan, dan jurnal keilmuan. Lokakarya keilmuan adalah salah satu wahana dari masyarakat keilmuan untuk membina para anggota mereka. Selanjutnya, di dalam pertemuan keilmuannya, setiap masyarakat keilmuan menyediakan atmosfir untuk bertanya dan menjawab kritis yaitu pertanyaan yang tidak lekas percaya dan jawaban berupa analisis yang tajam. Tanya-jawab ini menjadi amunisi baru bagi penyaji makalah untuk memperbaiki bahkan memperkaya riset maupun analisisnya sehingga makalah di prosiding konferensi dan bahkan di jurnal menjadi berkualitas. Kenyataan hari ini bahwa jumlah masyarakat keilmuan kita masih sangat kurang. Kita masih memikirkan sebuah masyarakat keilmuan yang besar cakupannya. Padahal, di luar sana sudah ada dan cukup banyak masyarakat keilmuan yang super spesialis dengan jumlah anggota yang hanya belasan orang.

Dengan keberadaan kelompok keilmuan dan masyarakat keilmuan yang banyak dan beragam sebagai dua mata pengetahuan yang menghasilkan pengetahuan yang baik, maka publikasi berkualitas dapat dihasilkan serta terhindar dari Scopus Apus-apus. Kita juga dapat mencapai publikasi dengan kuantitas yang tinggi. Karena itu pertentangan antara kuantitas dan kualitas publikasi menjadi hal yang kurang relevan.

Tulisan ini merupakan tulisan Prof. Khairurrijal (Profesor Fisika ITB) di laman media sosial Faceboook. 

No comments:

Post a Comment

Post Top Ad